Ketika menempuh pendidikan tingkat dasar di Kenagarian Air Angat, Kec X Koto, Kabupaten Tanah Datar, saya masih ingat sejumlah kincir air yang berada di jorong Kandang Sampir. Jorong itu tak jauh dari sebuah lapangan bola yang sering juga digunakan untuk lomba adu kerbau dan adu layang-layang. Berbeda dengan Pariaman, layang-layangnya bular, lebar, menggunakan dangung-dangung, serta tali plastik yang kuat. Sementara layang-layang di Aie Angek lebih kecil, berekor dan menggunakan tali benang nilon yang biasa untuk memancing ikan ambu-ambu.
Air Angat dulunya pusat tanaman kopi. Bila panen tiba, kami memanjat pohon kopi, terutama untuk mencari buah yang berwarna merah ranum, lalu melepaskan dari bijinya dan menelannya. Rasanya manis di lidah. Asupan gizi kami tentu tak cukup dari itu. Sebagai anak Pegawai Negeri Sipil, saban bulan keluarga saya mendapatkan pembagian sanden, kacang hijau, roti, gula dan sebagainya. Beberapa kali saya mengiringi Inyiak (nenek dari pihak ayah) untuk menumbuk kopi di Kincir Air yang letaknya lumayan jauh dari arah tempat kami tinggal. Keluarga dari almarhum istri pertama ayah saya kebetulan juga berdagang kopi.
Bukan hanya kopi yang ditumbuk di Kincir Air itu, tetapi juga padi. Tangan kudu cekatan di area tempat alu menumbuk padi atau kopi itu. Apabila sudah halus, posisi alu yang terus menumpuk itu diputar pakai pegangan kayu. Air juga bisa dimatikan di alu yang kita pakai, sehingga berhenti. Sementara, aliran air yang tidak dimatikan, akan terus bekerja menumbuk padi atau kopi. Sungguh sebetulnya teknik yang sangat sederhana, tetapi menumbuhkan sikap giat dan rajin bagi ibu-ibu dan anak-anak yang membantu. Jarang bapak-bapak yang bekerja menumpuk padi atau kopi itu.
Bapak-bapak atau anak laki-laki yang dewasa biasanya bekerja di tempat pembuatan gula dari pohon tebu. Gula merah atau saka, bahasa Minangnya. Yang bekerja adalah seekor kerbau yang ditutup kedua matanya, lalu mengelilingi area penggilingan tebu. Tugas pekerja adalah memasukkan batangan-batangan tebu di pusat lingkaran, sehingga menghasilkan air. Air itu lalu dimasak di dalam batok kelapa, sehingga jadilah gula merah. Bagi anak-anak, gula merah yang masih seperti coklat dan belum mengeras adalah favorit untuk ditunggu. Rasanya enak. Jangan-jangan, itulah yang disebut sebagai kembang gula.
***
Saya tidak tahu, untuk apa segala infrastruktur yang dibangun pemerintahan dewasa ini. Untuk apa memperpendek jarak antara Padang-Pekanbaru menjadi dua atau tiga jam, misalnya. Ini pertanyaan awam, sekaligus mendasar. Yang saya lihat di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, begitu mudahnya uang dibuang sia-sia, di atas jalan yang sama. Usai dibuat aspal, lalu dibongkar, ditanami beton lagi, bahkan jalan layang. Jalan Tol Jagorawi adalah contoh terbaik, bagaimana di area itu kini berdiri pilar-pilar beton untuk rel kendaraan lainnya nanti.
Apa yang diangkut di atas rel-rel itu? Atau di jalan-jalan itu? Yang saya rasakan tiap hari adalah lautan kendaraan yang bahkan di negara-negara maju tak lagi dipakai. Yakni, kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Kemacetan sudah sampai di garasi rumah. Jalanan Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah contoh terbaiknya. Tak siang, tak malam, bahkan dengan naik motorpun tetap sulit mencari celah sempit.
Apakah infrastruktur yang dibangun itu guna mengangkut seluruh kendaraan itu? Di Jakarta saja, jumlah kendaraan ini sudah dua setengah kali lipat jumlah penduduk. Konsumsi bahan bakar fosil dan harga kendaraan inikah yang menjadi sumber kesejahteraan penduduk? Atau semata-mata area pembuangan devisa ke negara-negara penghasil seluruh kendaraan itu, mulai dari India, China, Eropa, Amerika Serikat dan lain-lainnya?
Sumatera Barat juga sudah menjadi area bermacet-macet ria. Banyak sekali keluhan tentang macet setiap pekan, jika kita mengikuti media sosial penduduk. Ketika jalan tol dibangun, asumsi dua jam jarak tempuh seperti Bandung - *Indra J Piliang/Sang Gerilya Institute (sa/Pati)
Comments
Post a Comment