GOLPUT

Oleh : Bang Aad

Pada dasarnya saya adalah seorang golput. Secara ideologis saya memang tak nyaman menyaksikan bagaimana kekuasaan diperebutkan dan diperdagangkan lewat sebuah sistem bernama demokrasi. Justru karena saya menganggap kekuasaan adalah sesuatu yang “sakral”, maka ia sama sekali tak pantas untuk diperebutkan dan diperdagangkan. Andai orang paham betapa berat dan mahalnya sebuah kekuasaan, tentulah tak akan ada yang mau merebut dan membelinya. Harusnya kekuasaan hanya diamanahkan kepada mereka yang terpilih melalui seleksi “hikmah-kebijaksanaan” yang luar biasa ketat.

Satu hal lagi yang membuat saya selama ini ngotot menjadi golput : Bahwa perebutan dan jual-beli kekuasaan ini melulu dilakoni oleh para petualang yang tak punya nyali untuk bertarung dengan jantan. Mereka hanyalah para pengecut yang ingin bermain “Game of war without blood”. Modal utama mereka sebenarnya satu : syahwat !!! Lalu dibungkus berlapis-lapis atas nama negara, pembangunan, kemakmuran, nasib bangsa, ideologi, atau agama. Itulah sebabnya kenapa mereka lebih fasih berdalih daripada berdalil. Dan mirip seperti iklan Teh Botol Sosro : Apapun partainya, pemodalnya itu-itu juga.

Namun, saya memang harus berpikir ulang untuk tetap bertahan di ranah Golput. Mungkin saja pemainnya adalah para preman, atau mereka yang ter-preman-kan oleh tuntutan siasat. Tapi siapapun pemenangnya, mereka akan menguasai hajat hidup orang banyak minimal selama lima tahun. Dan kita tak punya pilihan lain kecuali mematuhinya, karena mereka punya bedil. Produk kekuasaan selalu saja strategis : daya paksa, peraturan, kebijakan dan nasib rakyat. Suka atau tak suka, sebuah kekuasaan adalah tali kekang dan cemeti untuk mengarahkan jalannya pedati negara. Dan kita ada di atasnya.

Maka, kita memang nyaris tak diberikan pilihan : turut mempengaruhi jalannya masa depan bangsa ini sekecil apapun, atau harus mengumpat dan mengurut dada sekurang-kurangnya lima tahun karena ternyata orang lain memilih penjahat. Dulu sebenarnya saya masih mempercayai alternatif ketiga, yaitu menjadi oposisi kritis dan kelompok penekan agak produk kebijakan para penguasa bersedia menyesuaikan diri dengan maunya rakyat. Tapi empat tahun terakhir menyadarkan saya : Bahwa kekuasaan dapat menyumpalkan bedil di rongga mulut, bungkam kebenaran, tangkap ulama, mengolok rakyat untuk makan bekicot, stigmatisasi anti-Pancasila, intoleran, radikal, lalu... penjara !!!

Bahkan selama ini saya tak percaya bahwa penguasa begitu berpengaruh secara day to day terhadap perjalanan keseharian seorang anak manusia. Yang saya percayai adalah : bahwa negara hanya mengurusi tata kelola dan tata administrasi kehidupan sosial-publik warganegaranya. Dan sisanya mereka hanya mengurusi tertib sosial, pertahanan negara, hubungan luar negeri, dan pembangunan infrastruktur. Tapi, lagi-lagi empat tahun terakhir ini saya belajar banyak : bahwa kekuasaan bahkan mampu masuk ke alam mimpi rakyat, sehingga sayapun tak lagi bisa tidur nyenyak, letih pikiran dan capek hati. Akun medsos didaftarkan dan percakapannya dipantau. Terima kasih penguasa.

Ya... cukuplah pengalaman menjadi nasihat. Erdogan sudah sampaikan pesan agar tak abaikan politik... Ustadz Abdus Shomad ingatkan agar tak serahkan kekuasaan pada penjahat... Ustadz Adi Hidayat bertaushiyah untuk tak golput... Begitu pula bin Baz, AlBani, Utsamain, Al-Qaradhawi dsb... Tak golput memang tak menjamin nasib bangsa ini menjadi lebih baik. Karena tak mungkin kita berharap kualitas pemimpin ketika orang gilapun boleh mencoblos, ketika elektabilitas lebih penting daripada kualitas. Namun, tidak golput setidaknya berguna untuk membangun asa agar keadaan tak bertambah buruk.

Sungguh, kontestasi kepimimpinan ala demokrasi ini memang benar-benar buruk. Tapi ketika kita dipaksa harus naik bus di mana supir dipilih oleh penumpang, maka jangan sampai nasib kita ditentukan penumpang ber-IQ 1 digit, sekolam pulak... (KP/Pati)

Comments